Gerobak Sapi, Tetap Melaju Dulu dan Kini

Oleh: G. Budi Subanar 
 
Gerobak sapi/kerbau, sejak kapan penduduk Nusantara mengenal kendaraan gerobak? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Usaha untuk menjawab pertanyaan ini ditempuh dengan memeriksa, meneliti sejumlah artefak pada relief candi, teks kisah-kisah atau goresan visual yang dibuat perupa untuk menemukan jejak-jejak yang memperlihatkan adanya penduduk atau penguasa yang menggunakan sarana angkutan tersebut. Penelitian teks kisah-kisah untuk sementara ditangguhkan karena mensyaratkan penguasaan khasanah sastra Jawa kuno dan Jawa pertengahan walau ada yang menyebut Hayam Wuruk sudah menggunakannya. 

1. Relief candi-candi
Sejumlah panel pada relief candi Borobudur ada yang menggambarkan bagaimana orang- orang jaman itu menggunakan sarana angkutan. Ada orang naik gajah, ditandu atau naik kereta. Namun penarik kereta yang dinaiki orang adalah kuda. Dengan demikian, kereta yang sudah dikenal adalah kereta kuda. Demikian pun, pada beberapa relief candi di Prambanan dan beberapa candi di Jawa Timur. Kereta-kereta yang ada ditarik oleh kuda. Selain itu, dalam relief candi Borobudur, beberapa panelnya memperlihatkan sarana angkutan laut yakni kapal yang digunakan para peziarah dari seberang lautan. 


2. Sketsa dan drawing
Berhubung abad-abad lampau belum dikenal alat foto, kemungkinan yang dilakukan adalah memeriksa peninggalan sketsa dan drawing dari sejumlah seniman. Beberapa seniman yang dikenal meninggalkan karya sketsa dan drawing yang menghadirkan kehidupan masyarakat Nusantara antara lain Johannes Rach, dan gurunya A de Nelly, serta Jan Brandes. Kumpulan karya mereka telah dibukukan antara lain menghadirkan suasana masyarakat dan alat transportasi yang digunakan. Dari sejumlah peninggalan visual berupa sketsa atau drawing dari para perupa tersebut, dapat ditemukan beberapa jejak yang memperlihatkan kehadiran gerobak. Gerobak yang dimaksudkan di sini berbeda dengan kereta kuda. Kalau kereta kuda baknya beroda empat atau dua dan ditarik kuda. Sementara, gerobak sapi baknya beroda dua dan ditarik lembu atau kerbau. Dalam masyarakat Hindu, lembu adalah binatang yang disucikan sehingga tak mungkin dijadikan hewan pekerja dan menarik gerobak.





 Sebuah karya Brandes, mengambarkan satu sudut kehidupan di (desa) Tanjung Timur sekitar Bogor pinggiran Sungai Ciliwung. Karya tersebut dibuat antara tahun 1779 -1785. Dalam sebuah lansap desa, di sana tergambar suatu situasi keseharian yang kompleks dan komplit. Sudut pengambilannya dari sebuah tepian sungai. Pada latar depan ada beberapa orang mandi di sungai. Ada beberapa orang yang tengah naik beberapa perahu yang menyeberangi atau menyusuri sungai. Sementara pada latar belakang terdapat seorang yang sedang mengolah sawah dengan menggunakan bajak yang ditarik seekor sapi. Sementara dikejuhan di jalan desa ada sebuah gerobak yang tengah melintas. Bangun gerobaknya memiliki dua roda, gerobaknya ada atapnya yang menutupi pada dua sisinya dengan posisi miring berhadapan sisi-menyisi. Seperti atap bangunan rumah. Gerobak tersebut ditarik oleh sepasang lembu/kerbau. Karya Jan Brandes tentang gerobak di Jawa hanya ditemukan 1 (satu) drawing. Drawingnya yang lain, memperlihatkan sebuah gerobak di Tanjung Harapan, Afrika yang tengah melintas sebuah jalan dengan latar belakang gunung dan deretan gedung-gedung di sepanjang jalan. Istimewanya, gerobak tersebut ditarik oleh tiga pasang lembu/kerbau dalam formasi saling berturutan. Barangkali dapat dipahami bahwa muatan yang dibawa gerobak tersebut sangat berat dan medannya berbukit-bukit sehingga membutuhkan tiga pasang lembu/kerbau untuk menariknya. Pengemudi gerobak berdiri sambil membawa cambuk di atas gerobak yang beratap. Selain dia mengendalikan dari gerobak, ada satu asisten lain yang menarik pasangan lembu/kerbau yang paling depan. Gambar tersebut diberi keterangan waktu dari awal abad sembilan belas. 



Koleksi drawing Johannes Rach lebih banyak menghadirkan angkutan kapal dan kereta kuda. Selain dari keduanya, ditemukan sebuah drawing dari pelukis yang tidak dikenal yang menghadirkan gerobak yang ditarik sapi/kerbau. Drawing tersebut memperlihatkan seorang penguasa yang naik gerobak ditarik oleh sapi/ kerbau. Bentuk gerobaknya dengan dua roda, dan tanpa atap. Sehingga penguasa berdiri di dalam gerobak dan kusir atau pengemudi ada di depannya, mengendarakan gerobak sambil duduk. 

3. Perkembangan abad XIX-XX
 
a. Di tengah usaha industrialisasi
Tatkala pemerintah Hindia Belanda, abad XIX melakukan industrialisasi besar-besaran dengan berbagai pabrik yang mengolah hasil perkebunan, peran gerobak terlihat hadir di sana. Secara khusus dalam lingkungan perkebunan tebu. Tebu yang ditanam di wilayah dataran luas membutuhkan sejumlah alat angkut. Selain digunakan lori yang mengangkut tebu dari kebun menuju pabrik, juga digunakan gerobak yang ditarik sapi. Beberapa foto memperlihatkan kehadiran gerobak sapi di tengah suasana penebangan dan pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik gula.





Bentuk gerobaknya sederhana. Sebuah gerobak dengan dua roda yang ditarik oleh dua ekor sapi. Rupanya roda dari gerobak itu juga memiliki sejumlah ukuran. Sebuah gudang di Cirebon memperlihatkan adanya –setidak-tidaknya empat ukuran roda- mulai dari roda yang sangat besar, roda ukuran sedang dan roda ukuran kecil.


b. Gerobak angkutan rakyat
Selain digunakan dalam dunia industri di perkebunan, gerobak sapi juga populer sebagai angkutan rakyat. Di tengah suasana kolonial Belanda, sangat mencolok bahwa yang menggunakan angkutan kereta kuda adalah kelompok orang-orang Belanda atau kelompok pribumi untuk golongan ningrat.
Di beberapa ruas jalan di kota Bogor dan Kediri, ditemukan suasana di mana ada kereta kuda yang menjadi angkutan penumpang di pinggirnya ada gerobak yang tengah beriringan. Atau gerobak yang tengah istirahat –sapinya dilepas dari tempatnya dan diberi makan rumput.


Bentuk dari gerobaknya beragam. Ada yang dengan atap, untuk melindungi dari panas matahari atau dari hujan. Ada pula yang gerobaknya tidak beratap. Kelemahan gerobak yang tidak beratap adalah tak terlindung dari matahari atau hujan. Keuntungannya dapat dimuati barang sampai bertimbun-timbun ke atas.






Suasana kerakyatan memang terasa pada gerobak sapi. Kereta kuda memang peruntukannya adalah angkutan manusia, sedang gerobak sapi lebih berfungsi sebagai angkutan barang. Dibandingkan dengan kereta kuda yang senantiasa beratap, gerobak sapi tidak senantiasa beratap. Juga terasa kesan gerobak sapi yang lebih kumuh dibandingkan dengan kereta kuda yang relatif lebih bersih. Tatkala beriringan di jalan, gerobak sapi ada di tempat laing pinggir, sementara kereta kuda yang lebih cepat ada di bagian tengah.



Dalam sebuah acara menyambut pernikahan putera mahkota Belanda (ratu Jualiana) dan pasangannya 1937, di berbagai kota di Jawa dan Sumatera diselenggarakan sebuah pesta karnaval. Dari dokumen foto yang ada, beberapa kota yang menyelenggarakan pameran kedaraan hias, gerobak menjadi salah satu alternatif sarana angkutan yang dihias. Setidaknya ada tiga (3) kota yang menggunakannya. Di Yogya, gerobaknya dan atapnya diubah dengan model rumah. Di dalamnya diangkut gamelan sebagai alat musik, sumber bunyi-bunyian yang mengiringi arak-arakan. Karnaval di kota lain
yang juga menggunakan gerobak adalah Jember dan Probolinggo, Jawa Timur. 






Di sebuah tempat di Jawa Timur, gerobak digunakan untuk mengangkat gamelan dari bumbung. Seperti halnya di Yogyakarta, gerobak digunakan untuk mengangkut gamelan yang ditempatkan di dalam bentuk rumah yang turut diarak dalam karnaval, sementara suara gamelannya mengalun memeriahkan suasana. Lihat gambar, seorang yang menata gamelan bumbung dari bambu. Di latar belakang, ada gerobak yang tengah diparkir pemiliknya.


4. Situasi mutakhir
Sepertinya gerobak tidak lagi memiliki prospek. Sebuah buku catatan perang seorang serdadu Belanda saat penyerbuan pasukan Belanda untuk menduduki Yogyakarta yang menjadi Ibukota RI antara 1946-1949, pada gambar halaman-halaman pertama memperlihatkan sebuah gerobak sapi yang tengah melintas jalanan di kaki bukit Gunung Ungaran. 



Kontras dengan gambar-gambar berikutnya, pasukan Belanda yang diangkut truk-truk militer, dan barisan panser dari Semarang hendak menyerbu Yogyakarta. Seolah mau mengatakan, pasukan Belanda akan meluluh lantakkan tuan rumah pribumi yang sedemikian lemah. Kendati pun demikian, gambar-gambar lain memperlihatkan jembatan-jembatan yang diledakkan oleh para pejuang kemerdekaan sehingga truk atau tank terperosok di dalamnya. Gerobak rakyat tetap melaju di jalan raya mengiringi rombongan para pengungsi, sedangkan truk dan tank penjajah terperosok di medan perang tak berdaya. 





Menyaksikan perkembangan alat transportasi bermesin, laju gerobak sapi seakan berjalan mundur. Foto berikut memperlihatkan sebuah gerobak yang berpapasan dengan kereta dan mobil. Kepada kita disajikan arah mobil dan kereta yang melesat ke depan. Sedang gerobak justru berjalan ke belakang. Disandingkan dan dihadapkan dengan kendaraan transport bermesin, gerobak seakan menjadi sejarah masa lalu kita. Kita yang selalu memandang ke depan meninggalkan gerobak di belakang kita.

Padahal, masih banyak gerobak yang melenggang di berbagai jalan di pelosok Nusantara. Dan, gerobak-gerobak itu juga membaharui diri. Lihat saja bentuk rodanya. Kapan roda gerobak berganti dengan roda mobil?

Apakah sekarang gerobak tetap mendapat kesempatan melaju di jalanan? Festival Gerobak Sapi bersama para bajingers dan pendukungnya mengusahakan gerobak sapi tetap melaju. … 

Yogyakarta, akhir Juli 2014


1 komentar:

 

Twitter Updates

Facebook