Sebuah Catatan Dari Festival Gerobak Sapi

OLEH: YUYUK SUGARMAN



Di hari Minggu Wage pada bulan Agustus 2012, saya diajak ke Lapangan Jangkang, Widodomartani, Sleman, oleh tetangga saya, Wardi. Saya terperangah ketika melihat puluhan gerobak sapi tertata rapih. Ini membalikkan ketidakpercayaan saya yang awalnya menyangsikan keberadaan gerobak sapi masih eksis.

Melihat gerobak sapi, maka ingatan saya melayang saat saya masih kecil. Rumah saya di Baciro, tak jarang dilewati gerobak yang membawa bata merah, padi, jagung dan lain sebagainya. Dari kejauhan, suara klonthong sapi sudah terdengar. Saya dan teman-teman, begitu mendengar maka bersiap-siap untuk membonceng gerobak. Sang sopir gerobak ada yang memperbolehkan kami ikut menumpang, namun ada pula yang melarang. Bagi saya dan teman-teman, boleh atau tidak boleh, tetap saja membonceng. Maka tak jarang sang sopir mengayunkan pecut ke belakang untuk mengusir kami. Sebuah pengalaman yang mengasyikkan.
 
Pemandangan di Jangkang itu membuyarkan asumsi saya bahwa keberadaan gerobak sapi sudah punah (meski tak punah seluruhnya – katakanlah hanya tersisa tak lebih dari 10 unit gerobak) akibat terdesak dengan alat angkut modern yang membanjiri seluruh pelosok tanah air. Wajar jika para petani beralih mobil karena jalannya lebih cepat, mengefisienkan waktu tatkala mengangkut hasil bumi untuk dipasarkan. Sebagai perbandingan untuk jarak 5 km saja, memakai gerobak perlu waktu setengah jam lebih. Sementara kalau pakai mobil cukup 5 menit. Bayangkan kalau jalan menanjak dan harus ke luar kota.



Di Lapangan Jangkang itu pula saya dikenalkan dengan beberapa tokoh gerobak sapi. Di antaranya adalah Sariman Muntil, pembuat gerobak yang berdomisili di Prambanan. Dia bercerita, dirinya selalu mendapat pesanan gerobak. Dalam satu bulan, ia mampu menyelesaikan setidaknya 3 gerobak, dengan harga bervariasi antara Rp 5 juta hingga Rp 12 juta, tergantung pada jenis kayu, kualitas kayu serta besar-kecilnya gerobak.

“Saat ini gerobak lebih menjadi klangenan dibanding sebagai alat angkut,” ujar Muntil dengan bangga.

Klangenan? Benar, kata Teguh Budiyanto yang kala itu masih menjabat Kadus Malangrejo, dan kini menjadi Kepala Desa Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Ia pun lantas menceritakan betapa heroiknya ayahnya dalam menghidupi seluruh keluarganya dengan mengandalkan gerobak untuk mengangkut hasil bumi dan dipasarkan hingga ke Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, ditempuh siang-malam, melawan panas terik maupun dinginnya udara malam.
Tak hanya sekedar itu, lanjutnya, ayahnya pun siap untuk menghadapi para perampok.
Sebagai penghormatan atas jasa ayahnya yang tak mengenal lelah menjual hasil bumi dengan naik gerobak demi menghidupi keluarga itulah Teguh lantas merasa perlu memiliki gerobak.

“Sebagai penghormatan pada ayah saya, maka saya tetap harus mempunyai gerobak. Ini untuk mengenang perjuangan ayah saya,” tuturnya.

Dari berbagai cerita yang saya dengar dari para tokoh gerobak, para sopir gerobak ini memang dipandang sebagai sosok yang heroik. Para bajingan ini sudah pasti punya fisik yang prima serta nyali yang besar dan memiliki kemampuan berkelahi. Sebab, yang dihadapi saat mengangkut hasil bumi adalah perampok. Entah bagaimana awal mulanya, mereka (para sopir gerobak) ini kemudian disebut Bajingan.
Namun dalam perjalanan waktu, dan entah bagaimana ceritanya, Bajingan mendapat konotasi negatif. Padahal, kalau merujuk pada cerita para tokoh gerobak sapi, tidaklah demikian. 

“Bajingan ini merupakan singkatan dari Bagusing Jiwo Angen-angening Pangeran. Artinya orang yang punya hati mulia yang memang dikehendaki oleh Allah. Mereka (baca Bajingan) mengawal dan mengamankan hasil bumi yang diangkut untuk dijual ke masyarakat,” ujar Muntil lagi.

Dari penjelasan para tokoh gerobak sapi ini, masihkan Anda mengartikan Bajingan itu adalah sosok yang kelakuannya selalu meresahkan masyarakat? Monggo saja.

***

Di Lapangan Jangkang itu saya termangu-mangu. Dalam benak saya, mereka, para bajingan, berkumpul, memamerkan gerobaknya sembari melakukan transaksi sapi. Keberadaan gerobak sapi hanya diketahui di kalangan terbatas saja, yakni kalangan para petani. Padahal gerobak ini unik, mempunyai nilai eksotik dan bahkan punya peran saat perang kemerdekaan RI. Para gerilyawan sering memanfaatkan gerobak untuk menyelundupkan senjata untuk melawan penjajah. Sungguh sayang bila keberadaannya tak banyak diketahui masyarakat luas.

Dalam pikiran saya, kenapa kumpulnya para bajingan yang memamerkan gerobaknya tak dikemas menjadi sebuah event yang menarik? Terlebih, sepengetahuan saya, belum ada event yang khusus menyajikan gerobak sapi. Kalau ini digarap serius, maka boleh jadi ini menjadi sebuah tontonan menarik dan bisa menjadi ikon Kabupaten Sleman, khususnya, pun dengan sendirinya Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya.

Kenapa saya berpikiran begitu? Jujur saja, saya iri dengan kota Jember yang dikenal di seantero dunia lewat Jember Fashion Carnival. Juga Solo dengan Batik Carnival. Sementara Yogya? Memang pernah ada Jogja Java Carnival yang dipelopori oleh Wali Kota saat itu Herry Zudianto. Namun sayang, event ini berhenti seiring dengan Herry Zudianto tak lagi menjabat.

Kejengkelan saya memuncak, kenapa mesti mati? Padahal, Yogya dikenal sebagai kota seniman yang kiprahnya telah mendunia. Yogya dikenal dan kuat dari sisi visual art.
Maka, pada suatu kesempatan bertemu dengan Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas, saya dan Fuska Sani Evani mengutarakan keinginan membuat event Gerobak Sapi. Ngarso Dalem pada awalnya juga tak percaya bahwa keberadaan gerobak sapi masih cukup banyak di Yogya. Namun, setelah beliau kami beri gambaran, beliau mendukung niat kami dan menitahkan untuk membuat sebuah festival. “Buat saja festival, nanti saya akan menyediakan piala,” tutur Sri Sultan.
Perbincangan saya dan Fuska dengan Sultan ini juga saya utarakan kepada Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu. “Adakan saja Fuska, nanti saya bantu,” ungkap Yuni Satia Rahayu.

Dukungan Ngarso Dalem membuat mantap. Maka, ketika saya dapat jatah ronda di hari Sabtu malam, di dusun Malangrejo, Wedomartani, Sleman, hasrat itu saya ungkapkan ke teman-teman ronda. Ada Wardi, Gimul, Ablink, Agus, Hasan dan lain sebagainya. Gayung bersambut. Kami sepakat untuk mengadakan festival gerobak sapi, dan ditangani oleh Karangtaruna Malangrejo dibawah komando (ketua panitia) Bowo Harso Nugroho.

***
“Dari mana dananya? Nanti warga malah Anda minta untuk menyumbang,” ujar Dukuh Malangrejo, Teguh Budiyanto, saat itu. 

Saya hanya tersenyum. Namun dengan tegas saya menyatakan: “Saya tak akan meminta warga untuk iuran. Saya malah ingin event ini justru menyejahterakan warga.”
Tetap saja pak Dukuh sangsi. Demikian pula beberapa warga. Betapa tidak, karena dalam proposal yang saya buat biaya penyelenggaraan mencapai Rp 100 juta. Apalagi dalam penyelenggaraan tersebut akan menghadirkan Sri Sultan.

“Siapakah kita kok berani-beraninya meminta Ngarso Dalem rawuh hanya untuk membuka festival yang dibuat oleh orang desa yang tak punya pengalaman sama sekali? Ojo main-main,” begitu komentar beberapa warga Malangrejo.
“Saya tidak main-main. Beri kami dukungan moral dan tenaga saat pelaksanaan nanti pada 16 Juni 2013,” tegas saya.

Dalam batin saya, pasti Tuhan tidak sare. Niat saya baik. Tuhan pasti akan mengiringi dan merestui keinginan kami semua.

Proposal demi proposal saya sebar ke beberapa perusahaan. Alhamdullilah, BRI, Wismilak, Gembira Loka, UGM, Tembi Rumah Budaya masuk. Juga ada beberapa perusahaan lain yang juga mau menjadi sponsor meski dalam bentuk barang. Ada pula yang secara person membantu seperti Sidarto Danusubroto, yang kini menjadi Ketua MPR RI. Dan terakhir yang masuk adalah dari Dinas Kebudayaan DIY.

Tak hanya itu. Yang tak kalah penting dan besar adalah dukungan para seniman yang tergabung dalam wadah Folk Mataraman Institute (FMI). Support teman-teman FMI seperti Krisna Encik dan Ong Hariwahyu membuatkan jingle Gerobak Sapi. Alit Ambara membuatkan logo festival. Bambang Herras cs, mendesain gerobak yang dipakai untuk menjemput Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, Kapolda DIY Brigjen Pol. Haka Astana, Bupati Sleman Sri Purnomo dan Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu.

Sementara dari Kodim Kota Yogya dan Kodim Sleman menyumbang atraksi yang tak kalah spektakuler dengan melibatkan puluhan anggota TNI AD menari Jathilan Gangnam Style.
Sungguh di luar perkiraan. Event Festival Gerobak Sapi 2013 yang diketuai oleh Bowo Harso Nugroho, dan juga dibantu oleh Aang, Asep, Budi, serta para pemuda lainnya boleh dibilang sukses. Ribuan orang hadir menyaksikan event yang langka dan diadakan untuk pertama kalinya. Sebuah event yang berhasil menghadirkan 160-an gerobak sapi dengan dana yang mepet dan ditangani para pemuda yang belum berpengalaman.

Bahkan dalam penyelenggaraan itu panitia terpaksa mengangkut sebuah panggung ukuran 4 x 8 meter dengan cara dipanggul. Semua ini hanya untuk mengirit biaya. Sebuah gotong royong yang luar biasa ditunjukkan oleh sekitar 25 pemuda Malangrejo.

Di sisi lain, event ini membuat para ibu di Malangrejo mereguk keuntungan. Dagangan mereka laris-manis. Dalam se-siang itu, ada yang kulakan 3 kali.

Festival Gerobak Sapi 2013, juga membawa dampak positif terhadap keberadaan gerobak sapi. Minat untuk memiliki gerobak sapi melonjak. Mbah Muntil, pembuat gerobak sapi, merasa kewalahan melayani permintaan gerobak sapi. Event ini pula yang memicu berdirinya beberapa komunitas di wilayah DIY. Di Bantul, misalnya, muncul paguyuban Guyup Rukun Bantul. Di Sleman yang awalnya hanya ada satu paguyuban yakni Andini Karyo, kini muncul beberapa komunitas lagi yakni Manunggal Lestari dan Makarti Roso Manunggal serta Pager Merapi. Mereka kemudian sepakat mengikat diri dalam wadah besar bernama Paguyuban Gerobak Sapi DIY sesuai dengan arahan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Jumlah gerobak pun meningkat tajam, mencapai lebih dari 400 unit. Harga gerobak pun melejit hingga ada yang mencapai Rp 40 juta.

***



Sukses di Festival Gerobak Sapi 2013, para pemuda Malangrejo kembali akan menggelar Festival Gerobak Sapi 2014 yang berlangsung pada 23 dan 24 Agustus 2014 di stadion Malangrejo. Ada tekad dari para pemuda ini untuk menjadikan event ini menjadi besar, maka digandenglah sebuah EO yang berpengalaman, yakni Kabare Production. “Kami bertekad untuk membesarkan event ini dan ditangani secara profesional,” tutur Bowo.
Sebuah kehormatan besar bagi kami dengan masuknya Kabare Production. Di sinilah kami, pemuda Karangtaruna Malangrejo belajar banyak dari Kabare. Tak bosan-bosan dan tak kenal menyerah mas Danang, mas Edy Purjanto, mas Bimo, mas Bayu, mas Hani, mas Anis, Rini, Wulan, Dyah membimbing kami di lapangan.

Kehadiran Kabare Production ini, pelaksanaan FGS 2014 ada pengembangan. Lomba yang diadakan menjadi variatif, seperti gerobak kostum dan offroad, selain karnaval. Pun juga ada pararel event seperti lomba foto, lomba selfie, lomba desain grafis gerobak. Tak lupa juga diselenggarakan pentas seni tradisi seperti Jathilan, Keroncong serta Ketoprak yang salah satu pemainnya adalah Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu.

Baik lomba maupun pentas kesenian ini bisa terselenggara karena ada dukungan dari Dinas Pariwisata DIY, juga para sponsor seperti: cat Emco, BRI PEULI, Wismilak, BCA, Ambarrukmo Plaza, Sidomuncul, Samsung, Nikon, PPPI, Aqua, Gembira Loka Zoo, Folks Mataram Institute dan lain sebagainya.

Tahun depan, kami bertekad menyelenggarakan lagi. Bahkan direncanakan untuk mengikutsertakan gerobak yang ada di seantero Jawa. “Kami akan mencoba mengontak Kepala Daerah-Kepala Daerah di luar DIY untuk mengirimkan gerobak dan menjadi peserta FGS 2015,” ujar Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu.

Akhir kata, saya dan teman-teman mengucapkan terimakasih, mohon doa restu serta dukungannya pada semua pihak, sehingga FGS bisa menjadi event andalan Daerah Istimewa Yogyakarta.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Twitter Updates

Facebook